Tuesday, November 4, 2014

A Walk Down Memory Lane (1)

Kemarin akhirnya gak tahan liat gunungan buku dan kotak dan..oh entah apalagi di atas meja rumah. Mulailah semua barang tidak jelas itu diturunkan dari meja untuk kemudian dipilah-pilah.
Mana yang harus ditaruh dalam kotak dan disimpan, mana yang harus dibuang, mana yang harus disisihkan untuk dimintakan persetujuan Abun akan dibuang atau disimpan.

Setengah jam pertama masih lancar jaya.

Sampai pada dua kotak sepatu yang awal tahun kemarin aku angkut dari rumah orang tua.
Isinya surat-surat (yep, internet belum ada waktu itu) sejak aku pindah dari kota kelahiranku.
Surat-surat yang jadi pelepas rindu dan penahan depresi karena 'dipaksa' pindah padahal aku sedang cinta-cintanya pada sekolah.
Sejak kecil aku suka sekolah.
Amat sangat.
Nampaknya alasan utama kesukaanku sekolah itu: teman-teman sekolah. Kebayang kan, lagi hot-hotnya sekolah, mulai puber dan mulai naksir-naksiran, udah punya geng sendiri, ehhhh...pindah kota. Nelangsa bener rasanya waktu itu.
Ketakutan kehilangan kontak dengan sahabat-sahabat dari kota kelahiran, aku berusaha semaksimal mungkin mempertahankan mereka dengan cara menulis surat.
Cara ini berlangsung sampai kuliah; setelah itu sudah ada internet dan socmed yang puji syukur, memungkinkan orang bertukar kabar dengan cara lebih mudah dan cepat.

Membaca sedikit dari surat-surat itu menggagalkan niat beberes tadi. Aku asyik membaca dan mengenang apa yang terjadi dahulu. Sepanjang membaca, tak henti-hentinya takjub betapa banyak yang aku udah lupa. Bahkan ada beberapa orang (laki semua sih emang) yang banyak dibahas dan bahkan surat-suratan denganku, tapiii, get this, gak kuingat. Sama sekali. Hahaha...Jadi buat para wanita muda di luar sana, kemungkinan besar lelaki-lelaki yang sekarang berarti segalanya itu, beberapa tahun kemudian bukan hanya tidak berarti. Kemungkinan inget namanya juga nggak. Jadi, bertahanlah...sampai menemukan yang terbaik ;)

Lalu dari sekian banyak teman yang bersurat-suratan denganku, hanya ada beberapa yang sama getol dan bawel sewaktu menulis surat. Kemungkinan karena temen-temenku yang lain rata-rata aktif banget di berbagai macem kegiatan (hai nDra!) jadi waktu mereka untuk menulis surat tidak se-lowong aku. Faktor bawel juga menentukan. Offline dan online, aku asli cerewet. Selain itu, menulis surat bukan suatu kegiatan yang mudah. Menulisnya sendiri butuh niat dan waktu. Setelah selesai, harus memberi perangko dan mengirimkan lewat kantor pos. Kantor pos, tidak seperti mal jaman sekarang, bukanlah tempat yang di setiap pojokan ada. Jadi, memang niat bener dulu itu aku surat-suratan dengan lebih dari 10 orang. Syukurlah (?) yang frekuensi membalasnya tinggi tidak semua, hahaha. Bangkrut juga mahasiswa beli 10 perangko tiap minggu.

Surat-surat itu juga membuatku terkenang-kenang betapa dahulu yang namanya komunikasi itu mahal dan kudu niat. Nulis tangan itu jauh lebih lama ketimbang mengetik. Tulisan yang 'tercipta' juga tidak selalu terbaca oleh penerima, hahaha. Tulisan tanganku adalah alasan aku suka komputer. Jelek bingits. Tapi dulu hal itu tidak menghentikanku menulis berlembar-lembar surat. Sampai sekarang, menulis di atas kertas lebih memuaskan ketimbang mengetik buku harian dalam komputer. Ada kepuasan yang gak bisa didapat dengan sekedar mengetik. Mungkin itu mengapa orang dulu selalu bilang kalau generasi setelah mereka lebih enak karena mereka melihat kalau generasi setelahnya memiliki banyak kemudahan, yang dahulu, terbayang saja tidak.

Dulu, untuk mengetahui wajah teman yang lama tidak berjumpa, membutuhkan proses yang tidak mudah. Aku harus minta foto mereka. Mereka lalu harus mencuci negatif film agar bisa dicetak. Lalu barulah foto itu dikirim lewat pos. Itu pun tidak bisa terlalu banyak karena mencuci foto itu lumayan harganya. Itu kalau kita berteman dan keep in touch. Kalau gebetan lama yang notabene tau kita hidup aja kagak? Ya gak mungkin kan, hahahaha. Sekali lagi, syukur sekarang ada internet. Komunikasi sangat mudah. Stalking juga =P
Orang nyaris setiap hari posting atau memajang foto terbaru mereka. Entah di socmed atau dibuat menjadi gambar profil. Beberapa mungkin malah 'terlalu rajin' sampai dibilang over-sharing.
Beda dengan socmed yang semudah mengetik nama untuk menemukan orang yang kita cari, menjaga tali silaturahmi (tjie bahasanyaa) jaman dulu juga 'berseni'. Kita harus menanyakan alamat mereka. Jika bertahun berlalu, ada kemungkinan alamat itu tidak berlaku lagi karena mereka pindah. Telpon rumah juga tidak semua orang punya. Sekarang, satu orang minimal memiliki satu henpon. Satu orang memiliki minimal satu akun di socmed. Keajaiban teknologi yang tidak hentinya kusyukuri karena memungkinkan bertemu teman yang karena satu dan lain hal sempat terputus komunikasinya.

Membaca surat-surat itu mengingatkanku kalau dulu jaman SMP sampai kuliah, aku mengalami yang namanya bingung dan lebay. Malu bacanya...ketololan-ketololan yang dilakukan, pikiran-pikiran polos yang bloon banget kalau diliat sekarang, atau segala kelakuan yang sewaktu diliat sekarang, apa sih yang kupikirin waktu itu?? *celupin muka ke danau

Pastinya sih, surat-surat ini akan jadi bahan obrolan yang seru dengan mereka. Hanya nampaknya aku ingin mulai lagi menyurati mereka. Lewat email, karena pos sekarang biarlah hanya untuk mengirim barang saja. Jarang kayaknya bertukar kabar lewat email. Terbiasa serba cepat, bercerita biasanya hanya dilakukan lewat chatting. Pengen nulis email ah. Lebih fokus dan berlatih nulis lagi.

No comments:

Post a Comment