Friday, September 21, 2012

We're Programmed to be Lazy

Twit googlefacts beberapa hari yang lalu:
" We are by nature more happy when kept busy, however, we're programmed to be lazy."
Gila ya, penyakit manusia bisa digambarkan dengan tepat dalam satu kalimat *nyengir.

Monday, September 17, 2012

Stop Whining

Pilihan hidup
Saya sedang dikelilingi beberapa teman yang (menurut saya) sedang menipu diri.
Saya memahami patah hati dan jelas, pernah ngalamin namanya patah hati sampai jadi tolol. Siapapun yang pernah mengalami patah hati pasti bisa berempati dan bahkan bisa mengingat jelas kejadian tersebut walau sudah lama berlalu. Makanya waktu nemu blog ini pastinya saya juga ikut lelehh…
Nah, seperti yang sudah diketahui bersama, perasaan sih sulit ya (kalau gak boleh dibilang gak bisa) diatur. Seperti kata Meredith Grey di Grey’s Anatomy ke Finn waktu milih Derek
“…and you may even be the better guy. But…he’s the one. And I wish he wasn’t.” Kira-kira si Meredith ini helpless dan berharap sebenernya kalau si dokter ganteng ini bukanlah ‘the one’.


Isn't he just yummy??!
                            
Oh the miserable road we chose for the sake of ‘the one’. Sama dari pihak si Derek oge. Dia juga jengkel sama diri sendiri karena biar bagaimanapun dia berusaha perbaiki pernikahannya dengan sang istri, Addison (which by the way gak kurang cantik atau pun kurang pinter), Meredith tetep yang dia liatin dengan matanya yang so McDreamy. Both tried to do the right thing.
Intinya, semua yang udah ngelewatin masa jatuh hati bukan sama yang orang diinginkan untuk dijatuhi hati, pasti ngerti rasanya patah hati.
Saya ingin membahas tindakan kita nyikapin jatuh hati ini.
Iya memang rasanya kiamat. Rasanya heran kenapa kalau memang bukan jodoh kok tetep cintaaa (seperti syair lagunya Daniel Bedingfield: ‘If I’m not made for you then why does my heart tell me that I am?’).
Itu wajar kok. Cinta itu gak bisa diatur.
Tapi ada yang bisa kita atur. Keputusan kita. Tindakan kita.
Kadang, keputusan sering gak sejalan sama hati. And it sucks, I know. Been there, done that. Jadi dewasa emang gak enak #eaaa
Makanya mungkin banyak alay yang berusia lebih dari 20 tahun; gak bisa move-on dari ke-ABG-annya. Soalnya masa ABG adalah masa yang ringan (ternyata ya!) dibanding setelahnya *nuduh
Kalau kamu dilecehin pasangan kamu, diselingkuhin, dikatain bodoh, dijanjiin dinikah tapi diundur terus sampe lewat setaun…kira-kira pinter gak kalau tetep pertahanin hubungan sama dia?
Nah tapiii…kalau memutuskan untuk bertahan – dengan alasan romantis picis seperti: cinta – yah, jangan cengeng. Udah tau dia tukang selingkuh dan udah lebih dari 3 kali ketahuan (entah berapa kali yang gak ketauannya), tetep juga dipertahankan; jadilah dewasa dan bertanggung jawab. Artinya, nggak ada yang paksa kamu untuk terus bersama dia, apapun yang terjadi, ya resiko. Iya tho? Semua temen dan kenalan udah menyarankan jangan diterusin. Kamu juga udah berniat demikian tapi, sekali lagi atas nama cinta (nyengir ah), kamu mencoba untuk bertahan dan nerima dia kembali.
Keras? Iya kali ya. Soalnya….hmmm…masalah hidup itu..banyak yang lebih berat (imho) dari cinta-cintaan. Kalau kerjaan sampe berantakan karena pacar, aduh…
Mungkin ada yang kerja hanya untuk have fun; tapi biarpun demikian, nangis di kantor en diketahui nyaris semua kolega, sangat tidak profesional. Apalagi mengumbar cerita untuk kesekian kalinya dikhianati pacar. People will lose respect.
Dan…bukan mau mendoakan atau menakut-nakuti, hidup ini seneng banget lempar-lempar cobaan yang hanya bisa kita jalanin dengan ikhlas dan berserah. Nothing we can do to make it good. Seperti kehilangan orang terkasih karena kematian, kehilangan pekerjaan, sakit yang belum ada obatnya..those kind of things. Kamu bisa berusaha macam-macam namun untuk hal-hal seperti ini, hasilnya ada dalam kuasa-Nya.
Untuk hal-hal yang masih bisa kamu tangani sendiri, please, jadilah cerdas.
Tidak apa-apa kamu masih menangis mengenang dia sampai bertahun-tahun. Bisa dimengerti kamu masih galau sampai ‘nyampah’ di dunia maya dan nyata. Seperti yang saya bilang, perasaan itu gak bisa diatur.
Namun keputusan kamu, apa yang kamu lakukan adalah tanggung jawab kamu. Kalau memang kamu ‘suka’ menderita, silahkan. Hanya, hargai orang-orang yang begitu peduli dan meminta kamu memutuskan jalan yang lebih baik. Caranya? Jangan manja. Jalanin keputusan kamu sampai titik darah penghabisan kalau memang itu yang kamu inginkan. Jangan merengek, mengeluh dan terus-terusan bertanya “Kenapa begini sih hidupku?”. Itu seperti kamu memegang setrika panas. Semua disekitar kamu menjerit suruh kamu lepasin. Kamu gak lepasin. Tapi kamu terus menerus menjerit “Aduh panas..tolong…panas banget.” -___- !
Biasanya yang dibilangin begini akan mengeluh seperti ini“Kamu gak tahu sih rasanya jadi saya.” Kalau sudah itu yang mereka katakan, saya hanya diam tersenyum…dan kembali berjuang dalam diam membereskan hati saya sendiri.

Monday, September 10, 2012

Sunday Mass this week

Saya kemarin kebaktian hari Minggu di GKI Diponegoro, Surabaya. Waktu itu yang melayani firman adalah Pdt. Arliyanus Larosa. Awalnya saya mendengar pembukaan khotbah beliau agak ilfil. Soalnyaaa...kan bahas soal kerendahan hati. Rendah itu artinya ya lemah, bukan apa-apa, miskin.
Nah, dari situ saya nangkepnya mau disuruh jadi lemah, miskin, etc. Walau dalam pikiran saya “Apa iya sih disuruh begitu?” Ternyata memang saya…salah *nyengir
Coba saya jabarkan ya khotbah bapak pendeta ini dengan semampu saya. Sebelumnya maap banget kalau ada yang kurang tepat, tapi mudahan jangan sampe salah ya.
Jadi bacaan diambil dari Markus 7:24-30 (salah satunya). Tentang iman seorang perempuan Siro-Fenisia yang dianggap orang Yahudi orang Kafir (disini pak pendeta sempat mengomentari betapa sekarang semua saling mengatai yang lain kafir “…belagu amat..” dan saya tersenyum karena akhir-akhir ini demikian adanya).
Namun karena ibu ini menunjukkan kerendahan hati dan iman yang besar, Allah menolongnya. Saya masih agak terganggu dan masih harus mencari penjelasan kenapa Tuhan menguji iman ibu ini dengan merendahkan dan menghina dia. Tapi at the very least, saya belajar sesuatu yang amat sangat berharga hari itu mengenai kerendahan hati.

Tantangan menjadi rendah hati adalah, jika kita rendah hati, kita takut tidak dianggap ‘serius’ oleh pihak sekitar.
Jaman sekarang yang mana budaya untuk menunjukkan “Ini aku.” (dirasa) dibutuhkan untuk mencapai posisi dihormati dan disegani, kerendahan hati bukanlah sesuatu yang lazim. Jika di kantor misalnya, jarang terjadi atasan yang menyapa bawahan terlebih dahulu. Takut tidak dianggap dan jika terlalu akrab nanti bawahan menjadi kurang hormat. Seperti di restoran, para pelayan sigap melayani dan ramah menanyakan kebutuhan kita. Kita, sebagai pelanggan, kadang tidak membalas sapaan dan senyuman ramah mereka karena kita menganggap kita lebih tinggi, memang pantas dilayani. Mungkin ada yang berpikir bahwa mereka dibayar, kata pak pendeta, mengucapkan apa yang saya ucapkan dalam hati *nyengir. “…tapi kita juga sering kan menemukan pelayan yang tidak ramah? Cemberut sewaktu kita memanggil dan tidak sigap melakukan tugasnya. Pelayan yang ramah itu adalah pelayan yang berhasil menempatkan orang lain –dalam hal ini pelanggannya- di depan kepentingannya sendiri.” Ini adalah salah satu ‘rumus’ rendah hati. Mendahulukan orang lain ketimbang diri sendiri.
Pendeta juga bercerita bahwa seperti biasanya budaya di Indonesia, ia juga dibesarkan dalam keluarga yang melihat bapak itu adalah raja. Bapak itu datang ke meja makan setelah semua siap. Kursi yang ditempati adalah yang terbaik. Makanan juga diletakkan paling lengkap dekat posisi bapak. Sewaktu pak pendeta menikah, ia mengakui bahwa melaksanakan apa yang diajarkan firman amatlah sangat sulit. Ia mencontohkan, di rumah, ia ikut sibuk menyapu mengepel (yang mana menurut pak pendeta, ketika orangtuanya tahu, mereka menangis karena tidak rela anak lelakinya melakukan pekerjaan rumah seperti itu) dan berbagi tugas menyiapkan makan keluarga setiap hari. Resikonya ada, kadang anak-anak lupa bahwa ayah mereka tetaplah sosok yang harus dihormati. Butuh kerja keras dan kerendahan hati untuk melakukan teladan Allah.
Berikut yang saya ingat dan melekat di hati saya, untuk menjadi orang yang rendah hati dibutuhkan percaya pada-Nya. Berserah bahwa kita percaya Dia yang memelihara kita. Saya sungguh baru menyadari, inilah yang sulit. Sebagai manusia, kita sering ingin mengatur dan memaksa rencana kita pribadi untuk terjadi. Hanya dengan rendah hati mengakui kita manusia dan Allah yang berkuasa memampukan kita untuk menyerahkan hidup kita pada-Nya. Demikian pun sebaliknya. Kita percaya, walau kita tidak pamer kuasa dan pamer kekuatan, Allah akan memberikan apa yang kita perlukan.
Itu sulitttt.
Ada rasa khawatir, kalau saya tidak begini atau tidak begitu, apa yang saya inginkan tidak bisa tercapai. Kita berhenti percaya kalau Allah yang punya kuasa; kita percaya apa yang terjadi dalam hidup kita adalah karena KITA. Wahh…
Lalu, pak pendeta juga menyinggung, sering kita tidak mengakui ada masalah yang membutuhkan pertolongan atau konseling pihak ketiga karena gengsi. Selain juga karena takut jadi bahan omongan orang lain. “Itu juga sikap tidak rendah hati. Tidak mau dibilang tidak harmonis? Ya memang tidak harmonis kok. Akui saja. Lha memang tidak bisa rukun.” Mengakui ada masalah adalah sikap rendah hati yang memungkinkan kita meminta pertolongan orang lain. Tanpa itu, masalah tidak kunjung selesai dan semakin parah.

Pendeta mendekati akhir khotbah juga mengajak kita saling mawas diri, apakah diri sendiri sudah menjadi istri/suami/anak yang sesuai dengan firman Allah. Pendeta mengatakan, terkadang kita merasa apa yang kita lakukan sudah benar. Contoh: walau untuk bekerja, pendeta tetap menyadari bahwa perjalanan dinas yang mengharuskannya meninggalkan keluarga tetaplah meninggalkan. Jadi, walau lelah, walau hanya sehari, pak pendeta berusaha pulang sebelum melanjut perjalanan berikutnya. Itu adalah tugasnya sebagai seorang suami dan seorang ayah.

Khotbah yang amat sangat mengena di hati saya dan apa yang diucapkan masih terus terngiang. Semoga membuat saya berubah menjadi lebih baik ya, bukan hanya untuk diingat saja. Oh ya, dan tentuuu..bersyukur bisa mengikuti khotbah yang dibawakan bapak pendeta ini, yang ternyata jauh-jauh datang dari Jakarta untuk membawakan firman ke Surabaya J

Friday, September 7, 2012

Gak Pantes Yaa..

Emang butuh disiplin tinggi ya untuk nulis kalau hati lagi berantakan dan gak karuan.
Padahal, udah berulang kali hardik diri suruh ceria kek, senyum kek…bahwasanya saya nih gak punya masalah apa-apa yang gedha gitu untuk buat saya ngerasa berantakan. But oh how I such a mess
Sering inget mama tiba-tiba. Trus nangis.
Inget kenangan yang udah berlalu dan gak mungkin diulang. Trus nangis.
Ini kenapa saya jadi cengeng??
Mungkin juga karena ngerasa diri jelek dan durjana. Kemarin 2 minggu penuh harus minum obat 5 kali sehari. Nah, obatnya lumayan keras dan saya punya maag akut, jadilah kudu makan nasi setiap mau minum obat. Coba ya sodara, 5 kali makan nasi shari. Apa gak jadi buntelan lemak?! Apa? Dikit aja makannya? Sempet sekali dua kali saya makan 3 sendok aja supaya gak terlalu banyak. Setengah jam setelah makan obat, perut kayak diamplas en dituangin cabe andaliman di dalem. Daripada penyakit jadi nambah, ya saya ngalah, makan yang lebih banyakan. Sembuh? Iya, habis itu pundung sampai sekarang karena kesusahan nurunin kelebihan berat yang  ditabung pas sakit itu. Nasib. Naikinnya 2 minggu--nuruninnya….udah sbulan berubah dikiii…tt aja.
Stres.
Soalnya saya sama temen-temen saya rencana bulan depan mau ke Bali. Nah, kami ini lagi tanding mau bikin bodi bikini. Ngerti kan? Bodi yang pantes dipakein bikini. Pantes dalam arti gak bikin anak kecil nangis kalo liat ini bodi berbikini ria di depan umum pas di Bali nanti. Lha bukannya makin ok malah melembung giniiih!
Tapi kembali lagi, yang bikin paling benci karena saya tau persis ini semua salah saya sendiri. Seharusnya saya emang olahraga. Mau gak makan kayak apa juga, saya bukan tipe yang bisa berbadan keren kalau tanpa olga (olahraga). Sayangnya, seperti yang pernah saya posting disini, saya itu rewel orangnya. Banyak syarat mau olga. Sirik bener saya sama seorang temen saya yang niatnya ngelakuin sesuatu itu luar biasa. Bayangin, dia biasanya olga sendiri aja di rumah. Pake video-video si Casey Ho entuh. Atau video lain yang dia donlot dari internet. Ini  butuh kedisiplinan tinggi…banget! Dan saya nampaknya gak memiliki elemen penting ini untuk olahraga. Saya butuh ‘disuapin’. Lebih bagus lagi kalau ada personal trainer yang ngomelin kalau saya diliat males.  Mahal ajuah gitu tapinya yaaa…
Trus rumah berantakan. Ahahahaha…lagu lama.
Tapi diantara segala keluh kesah (yang gak penting banget if I may added), saya sering menemukan diri bersyukur waktu liat adik dan suami saya di rumah. Saya bahagiaaaa banget. Mereka bisa bikin saya ketawa dan kami bisa berjam-jam melakukan perbincangan konyol gak penting yang bikin ngakak-ngakak di jam-jam yang gak lazim. Mereka juga dua lelaki terkasih yang selalu sayang saya gimana juga kacaunya saya. Terus, mereka lebih rajin dari saya. Mwahahahaha…apa ini bikin saya jadi tercambuk dan mawas diri supaya lebih rajin? Ih salah. Saya malah makin termanja. *ngunyah buah hasil kupasan adik sambil dipijitin suami
Ah ternyata saya memang tidak pantas bete.

Thursday, September 6, 2012

Blogwalking

"I know that you will always coming back to me.."

Ahh..terkenang karena baca cerita disini