Monday, September 10, 2012

Sunday Mass this week

Saya kemarin kebaktian hari Minggu di GKI Diponegoro, Surabaya. Waktu itu yang melayani firman adalah Pdt. Arliyanus Larosa. Awalnya saya mendengar pembukaan khotbah beliau agak ilfil. Soalnyaaa...kan bahas soal kerendahan hati. Rendah itu artinya ya lemah, bukan apa-apa, miskin.
Nah, dari situ saya nangkepnya mau disuruh jadi lemah, miskin, etc. Walau dalam pikiran saya “Apa iya sih disuruh begitu?” Ternyata memang saya…salah *nyengir
Coba saya jabarkan ya khotbah bapak pendeta ini dengan semampu saya. Sebelumnya maap banget kalau ada yang kurang tepat, tapi mudahan jangan sampe salah ya.
Jadi bacaan diambil dari Markus 7:24-30 (salah satunya). Tentang iman seorang perempuan Siro-Fenisia yang dianggap orang Yahudi orang Kafir (disini pak pendeta sempat mengomentari betapa sekarang semua saling mengatai yang lain kafir “…belagu amat..” dan saya tersenyum karena akhir-akhir ini demikian adanya).
Namun karena ibu ini menunjukkan kerendahan hati dan iman yang besar, Allah menolongnya. Saya masih agak terganggu dan masih harus mencari penjelasan kenapa Tuhan menguji iman ibu ini dengan merendahkan dan menghina dia. Tapi at the very least, saya belajar sesuatu yang amat sangat berharga hari itu mengenai kerendahan hati.

Tantangan menjadi rendah hati adalah, jika kita rendah hati, kita takut tidak dianggap ‘serius’ oleh pihak sekitar.
Jaman sekarang yang mana budaya untuk menunjukkan “Ini aku.” (dirasa) dibutuhkan untuk mencapai posisi dihormati dan disegani, kerendahan hati bukanlah sesuatu yang lazim. Jika di kantor misalnya, jarang terjadi atasan yang menyapa bawahan terlebih dahulu. Takut tidak dianggap dan jika terlalu akrab nanti bawahan menjadi kurang hormat. Seperti di restoran, para pelayan sigap melayani dan ramah menanyakan kebutuhan kita. Kita, sebagai pelanggan, kadang tidak membalas sapaan dan senyuman ramah mereka karena kita menganggap kita lebih tinggi, memang pantas dilayani. Mungkin ada yang berpikir bahwa mereka dibayar, kata pak pendeta, mengucapkan apa yang saya ucapkan dalam hati *nyengir. “…tapi kita juga sering kan menemukan pelayan yang tidak ramah? Cemberut sewaktu kita memanggil dan tidak sigap melakukan tugasnya. Pelayan yang ramah itu adalah pelayan yang berhasil menempatkan orang lain –dalam hal ini pelanggannya- di depan kepentingannya sendiri.” Ini adalah salah satu ‘rumus’ rendah hati. Mendahulukan orang lain ketimbang diri sendiri.
Pendeta juga bercerita bahwa seperti biasanya budaya di Indonesia, ia juga dibesarkan dalam keluarga yang melihat bapak itu adalah raja. Bapak itu datang ke meja makan setelah semua siap. Kursi yang ditempati adalah yang terbaik. Makanan juga diletakkan paling lengkap dekat posisi bapak. Sewaktu pak pendeta menikah, ia mengakui bahwa melaksanakan apa yang diajarkan firman amatlah sangat sulit. Ia mencontohkan, di rumah, ia ikut sibuk menyapu mengepel (yang mana menurut pak pendeta, ketika orangtuanya tahu, mereka menangis karena tidak rela anak lelakinya melakukan pekerjaan rumah seperti itu) dan berbagi tugas menyiapkan makan keluarga setiap hari. Resikonya ada, kadang anak-anak lupa bahwa ayah mereka tetaplah sosok yang harus dihormati. Butuh kerja keras dan kerendahan hati untuk melakukan teladan Allah.
Berikut yang saya ingat dan melekat di hati saya, untuk menjadi orang yang rendah hati dibutuhkan percaya pada-Nya. Berserah bahwa kita percaya Dia yang memelihara kita. Saya sungguh baru menyadari, inilah yang sulit. Sebagai manusia, kita sering ingin mengatur dan memaksa rencana kita pribadi untuk terjadi. Hanya dengan rendah hati mengakui kita manusia dan Allah yang berkuasa memampukan kita untuk menyerahkan hidup kita pada-Nya. Demikian pun sebaliknya. Kita percaya, walau kita tidak pamer kuasa dan pamer kekuatan, Allah akan memberikan apa yang kita perlukan.
Itu sulitttt.
Ada rasa khawatir, kalau saya tidak begini atau tidak begitu, apa yang saya inginkan tidak bisa tercapai. Kita berhenti percaya kalau Allah yang punya kuasa; kita percaya apa yang terjadi dalam hidup kita adalah karena KITA. Wahh…
Lalu, pak pendeta juga menyinggung, sering kita tidak mengakui ada masalah yang membutuhkan pertolongan atau konseling pihak ketiga karena gengsi. Selain juga karena takut jadi bahan omongan orang lain. “Itu juga sikap tidak rendah hati. Tidak mau dibilang tidak harmonis? Ya memang tidak harmonis kok. Akui saja. Lha memang tidak bisa rukun.” Mengakui ada masalah adalah sikap rendah hati yang memungkinkan kita meminta pertolongan orang lain. Tanpa itu, masalah tidak kunjung selesai dan semakin parah.

Pendeta mendekati akhir khotbah juga mengajak kita saling mawas diri, apakah diri sendiri sudah menjadi istri/suami/anak yang sesuai dengan firman Allah. Pendeta mengatakan, terkadang kita merasa apa yang kita lakukan sudah benar. Contoh: walau untuk bekerja, pendeta tetap menyadari bahwa perjalanan dinas yang mengharuskannya meninggalkan keluarga tetaplah meninggalkan. Jadi, walau lelah, walau hanya sehari, pak pendeta berusaha pulang sebelum melanjut perjalanan berikutnya. Itu adalah tugasnya sebagai seorang suami dan seorang ayah.

Khotbah yang amat sangat mengena di hati saya dan apa yang diucapkan masih terus terngiang. Semoga membuat saya berubah menjadi lebih baik ya, bukan hanya untuk diingat saja. Oh ya, dan tentuuu..bersyukur bisa mengikuti khotbah yang dibawakan bapak pendeta ini, yang ternyata jauh-jauh datang dari Jakarta untuk membawakan firman ke Surabaya J

No comments:

Post a Comment