Sebagai anak perempuan satu-satunya, saya tidak pernah diberi bisikan bahwa perempuan lebih lemah, permainan ini adalah permainan yang tidak cocok untuk perempuan, seorang perempuan tidak pantas berkelakuan begini atau begitu. Dulu saya tidak sadari kalau hal itu berefek besar. Sekarang saya melihat semua itu dalam perspektif yang sungguh berbeda.
Saya ingat suatu sore ketika saya belum lagi masuk bangku sekolah (berarti umur saya kurang dari 4 tahun) saya pulang ke rumah sambil menangis. Kebetulan hari itu bapak saya yang bertemu saya duluan. Bapak bertanya "Loh? Kenapa nangis?" Sambil terisak saya ceritakan penyebabnya (sungguh saya lupa sampai sekarang kenapa saya menangis hari itu). Jawaban bapak hari itu melekat dalam-dalam di ingatan saya yang masih piyik. "Kalau kamu berantem dengan orang lain, usahakan dia yang nangis. Jangan sampai kamu yang nangis."
'Dogma' itu entah kenapa tertera amat dalam. Sejak itu saya dikenal sebagai anak perempuan tomboy yang luar biasa 'nakal'.
Sering sekali orang tua saya dipanggil oleh sekolah karena sifat saya yang tidak mau kalah lumayan ekstrim. Saya tidak bisa menceritakan persis semua penyebabnya, ingatan saya tidak terlalu mendetail. Tapi ada beberapa kejadian yang masih saya kenang sampai sekarang.
Sewaktu TK, saya memiliki seorang sahabat anak lelaki yang bernama, sebut saja, Gandhi.
Gandhi dan saya amat dekat.
Orang tua kami memiliki rumah di perumahan yang sama, ayah kami bekerja di kantor yang sama dan setiap pulang sekolah, saya selalu pulang ke rumah Gandhi karena kedua orang tua saya masih bekerja sehingga saya dititipkan dulu ke rumah Gandhi.
Hal ini masih berlanjut kendati keluarga saya telah memiliki ART yang bisa menjaga saya. Saya masih sering bermain dengan Gandhi setiap kami bisa.
Gandhi ini konon dinilai jauh lebih nakal daripada saya. Saya ingat, kami adalah para raja di setiap jam istirahat TK. Posisi ini kami peroleh karena setiap bel berbunyi, kami berdua berlari kencang ke tangga majemuk berbentuk kotak-kotak untuk mencapai satu kotak yang terletak paling tinggi. Entah kenapa posisi itu selalu menjadi rebutan karena toh seingat saya setelahnya kami hanya bertengger berdua di kotak paling atas dan cengar-cengir bersama. Memandang 'bawahan-bawahan' kami yang tidak istimewa di kotak-kotak bawah.
Seperti ini hanya saja di paling atas di tengah ada satu kotak lagi. Kotak 'raja'. Gambar dari sini |
Saat itu saya sadari, Gandhi ditakuti oleh teman-teman yang lain. Saya lupa mengapa. Pastinya saya aman kalau dia ada.
Suatu hari, Gandhi tidak ada ketika waktu bermain tiba. Saya tetap berlari kencang menuju tiang panjat. Tiba-tiba saya jatuh karena ada yang menjegal saya. Lutut dan bibir saya berdarah. Walau perih, saya langsung bangkit. Terbiasa bermain dengan anak lelaki, saya tahu kalau saya menangis pasti akan jadi bulan-bulanan anak-anak lelaki lain.
Penjegal saya, yang wajahnya tidak saya ingat namun kata-kata dan matanya masih saya kenang, mendekati saya sambil berbisik "Ayo nangis. Dasar anak cewek. Bentar lagi pasti nangis."
Air mata yang susah payah saya tahan semakin berhasil saya kendalikan karena terngiang pesan bapak: "Kalau kamu berantem dengan orang lain, usahakan dia yang nangis. Jangan sampai kamu yang nangis."
Salah satu guru saya waktu itu melihat dan kaget karena mulut dan lutut saya berlumuran darah. Dia cepat-cepat menghampiri dan membawa saya ke UKS untuk diobati. Ketika mengobati, beliau sempat berujar "Ini akan perih sedikit, tahan ya, jangan nangis." Saya waktu itu bergumam marah "Nggak akan kok bu, gak sakit." karena si penggertak mengintip dari UKS dan saya bertekad tidak akan membuat dia puas karena saya menangis.
Seusai diobati, saya berjalan menuju kelas sedikit tertatih karena lutut saya yang luka. Pikiran saya mengkalkulasi bagaimana membalas penggertak ini supaya kapok. Saya entah kenapa tidak terpikir untuk mengadukan kejadian ini pada guru. Saya terpikir untuk mengadu pada...Gandhi.
Entah darimana Gandhi muncul dan bertanya "Kenapa?". Saya waktu itu segera tahu kalau Gandhi yakin saya bukan jatuh sendiri. Singkat saya berkata sambil menunjuk penggertak (iye, ngadu) "Dia nyandung gua tadi." Gandhi melihat ke arah si penggertak yang sekarang wajahnya takut sekali. Gandhi lalu mendatangi dia dan tanpa banyak kata mendorong anak itu sampai jatuh. Melihat wajah anak itu hampir menangis, Gandhi mengancam "Awas luh kalo nangis!" Penggertak itu bangkit berdiri dan pergi sambil menunjuk-nunjuk kami berdua "Awas lu berdua, bakal gua bales." Kejadian ini tidak sampai ke telinga orang tua kami berdua.
Namun saya, di usia masih piyik, mulai tahu kalau sekolah sama sekali berbeda dengan rumah.
Saya tidak tahu apakah ingatan saya sesuai dengan kejadian sebenarnya. Tapi mengingat itu saya percaya kalau anak kecil, entah kenapa bisa menjadi jahat.
Saya juga merasa saya jahat.
Saya yang masih kecil sudah tahu bahwa pengaduan kepada guru tidak akan memberi pembalasan yang 'setara'.
Saya memilih mengadu pada sahabat saya yang saya tau akan membalas sesuai keinginan saya.
Saya memilih mengadu pada orang yang saya yakin percaya pada saya dan bisa membalaskan sakit hati saya.
Saya waktu itu sempat berusaha mengejar si penggertak tapi karena lutut saya sakit, dia dengan mudah menghindari saya.
Kejadian itu bukan kali yang pertama saya diganggu di sekolah. Tapi itu kejadian pertama dan satu-satunya dimana saya tidak membalas sendiri. Seingat saya nyaris setiap tahun orang tua saya dipanggil sekolah karena berantem dan atau membuat anak lain menangis. Bahkan sampai kelas 5 SD saya masih membuat anak lelaki di sekolah menangis. Tapi, karena saya bersekolah di yayasan yang sama sejak TK, semua guru sudah tahu, saya tidak pernah mengganggu orang lain duluan. Mereka percaya jika saya bertengkar atau berantem, pasti karena saya yang diganggu. Namun hal ini tidak berarti orang tua saya tidak dipanggil jika saya 'berulah'. Paling ramai adalah ketika kelas 2 SD orang tua saya dipanggil kepala sekolah karena saya ikut berkelahi dengan ketua kelas dan wakilnya. Ketua kelas memukul Gandhi karena waktu ulangan sudah usai dan Gandhi masih sibuk menulis di kertas jawabannya. Gandhi membalas dan sang ketua kelas menangis. Wakilnya lalu berbohong pada wali kelas kalau Gandhi memukul duluan dan ketua kelas hanya meminta Gandhi mengumpulkan kertas ulangan. Saya meradang dan membentak-bentak mereka sampai wali kelas melerai pun saya tidak berhenti. Saya marah sekali mereka berbohong.
Orang tua saya tidak pernah memarahi saya untuk ini. Pun tidak memberikan wejangan bahwa sebagai anak perempuan saya harus lebih lembut sehingga ketika diganggu seharusnya mencari alternatif lain kecuali membalas dengan brutal. Entah kenapa saya juga merasa harus menjadi 'Gandhi' untuk orang-orang lain yang tidak bisa membela diri mereka sendiri.
Sejak kelas 2 SD, Gandhi pindah sekolah. Tapi apa yang dia lakukan membuat saya berusaha menjadi 'pengawas' anak-anak nakal (semuanya lelaki) yang suka berulah pada anak-anak lain; seperti Gandhi pada saya.
Saya berketetapan mereka harus dikejar sampai dapat dan dibalas.
Tidak heran semasa kecil saya suka permainan yang melibatkan lari dan aktivitas fisik lain. Nyaris setiap jam istirahat saya adu lari dalam permainan atau pengejaran. Fisik saya secara tidak sengaja terlatih karena saya merasa jika saya tidak kuat secara fisik, saya akan jadi bulan-bulanan para penggertak. Tidak hanya saya yang demikian, ada 2 anak perempuan 'perkasa' lain yang menurut saya, cukup ditakuti oleh anak-anak ini.
Resiko menyandang 'pengawas' ini adalah, sering mereka mengincar kami.
Kami menjadi incaran mungkin karena dari semua anak, baik perempuan maupun lelaki yang mereka ganggu, hanya kami yang selalu membalas mereka.
Well, berusaha setidaknya.
Tidak jarang saya tidak berhasil atau pengejaran hari ini berlanjut pembalasan esok dan seterusnya.
Suatu hari, kami bertiga mengejar satu orang yang sama karena dia tiba-tiba memukul kami ketika jam istirahat. Ketika kedua teman saya tertinggal mengejar anak ini, sebut saja Mawan, saya bertekad harus mendapatkan dia.
Dia berlari ke dalam kelas, saya ikuti.
Dia lari ke arah taman, saya kejar.
Dia lalu melompat pagar tanaman yang terlalu tinggi untuk saya karena saya sudah nyaris meraih kemejanya.
Tiba-tiba "Wrekkk.."
Mawan lalu mematung di tengah taman...
Saya heran. Kedua teman saya yang tadinya tertinggal sudah menyusul Mawan ke dalam taman lalu tiba-tiba meledak dalam tawa "Robek nih yeeee...rasain luhh.." Mawan malu dan mengacung-acungkan tinju mengancam akan memukul kami jika kami mendekat. Kami kenal dia dan tahu kalau dia serius jadi kami sambil nyuraki mengiringi perjalanan dia ke ruang guru untuk mengganti celana. Pada jarak yang aman tentunya.
Sepanjang sisa hari itu Mawan duduk diam di kelas karena celana yang pas untuknya belum ada. Oleh karena itu dia tidak bisa pergi dari bangkunya. Dia duduk diam di kelas untuk menyembunyikan robekan besar di bagian belakang celananya.
Kami sungguh bahagia. Hari itu, penggertak menjadi korban gertakan. Kami menggodanya habis-habisan. Kami colek-colek dia dan langsung melompat mundur, tahu kalau dia tidak akan beringsut. Guru kelas yang tahu persis kenapa hal itu terjadi pada akhir hari malah memberi nasihat "Makanya Wan, jangan nakal sama temen-temennya."
Apakah anak harus diajari untuk membalas?
Bukan.
Anak harus diajari untuk membela dirinya sendiri dan orang lain yang belum bisa melakukan hal yang sama.
Penggertak harus tahu kalau kelakuannya akan memiliki konsekuensi dan pada gilirannya, mudahan, mengurungkan niat mereka untuk menjadi penggertak.
Guru, walau tahu siapa yang jadi gara-gara, jika tidak menyaksikan sendiri akan kesulitan menghukum tanpa bukti. His/her words against mine. Guru dan orang dewasa tidak selalu hadir setiap saat. Jika guru membela yang benar sekalipun, kadang itu berarti pembalasan akan lebih parah lagi dilakukan penggertak nantinya. And also, nobody likes a snitch.
Saya dulu berpikir, itu adalah salah satu alasan guru-guru saya selalu memasangkan saya duduk dengan salah satu anak ternakal. Saya tidak mengadu tetapi saya juga tidak menangis. Anak-anak ini juga jadi tidak mengganggu yang lain karena sibuk meladeni balasan saya. Jika dipukul, saya akan memukul balik. Bahkan sampai SMP kelas 1, saya memukul teman sebangku saya yang menendang kaki saya di bawah meja. Saat pelajaran matematika. Waktu itu kami duduk paling depan dan saking seringnya kami berkelahi seperti itu, guru matematika saya hanya memarahi kami sebentar dengan jengkel dan melanjutkan mendikte soal cerita menggunakan nama kami berdua sebagai tokoh-tokohnya.
Beranjak SMP, anak-anak penggertak ini beberapa menjadi teman saya. Entah kenapa. Saya juga tidak dendam dan cukup senang tidak harus siaga setiap saat.
Mulai SMP, gertakan bukan lagi dilakukan fisik. Saya juga tidak bisa membalas secara fisik. Penggertak berubah dari para lelaki menjadi sesama perempuan.
Saya lalu menyadari jika nilai-nilai saya bagus, penggertak akan berpikir puluhan kali untuk menindas saya karena guru-guru menyukai saya. Saya pindah sekolah ke kota lain sewaktu kelas 2 SMP. Salah satu alasan saya belajar waktu itu adalah agar kredibilitas saya baik di mata guru dan pada akhirnya, saya dibiarkan tenang oleh para penggertak.
Berbeda periode hidup, berbeda jenis bully yang saya temui. Strategi saya juga berubah mengatasinya.
Saya tidak mengatakan sepenuhnya ajaran bapak dahulu itu sepenuhnya benar.
Kalimat itu sampai sekarang masih terngiang ketika saya menghadapi penggertak. Hanya saja sekarang, artinya adalah, pantang untuk terlihat lemah ketika bertemu penggertak.
Pantang untuk diam saja melihat orang lain digertak.
Pantang membuat penggertak berpikir kalau mereka bisa lolos begitu saja tanpa konsekuensi.
Pic taken from here |
Siapa bilang penggertak hanya ada di dunia anak-anak? Penggertak kecil ini akan menjadi dewasa.
Jika semasa kecil anak-anak tidak terbiasa membela diri sendiri dan apa yang benar, setelah dewasa mereka tidak akan secara ajaib berubah menjadi teguh dan berani. Meski tidak menjamin penggertak berubah jika dilawan namun jangan sampai mereka berpikir bahwa mereka punya kartu As yang membebaskan mereka melakukan apa saja pada orang lain.
Saya tidak selalu mampu memberanikan diri melakukan apa yang benar saat saya dewasa. But I sure hell know that I should.
No comments:
Post a Comment