Thursday, August 29, 2013

Matre...?

Tadi jalan-jalan ke blognya mbak Ira dan cengengesan sendiri liat posting tersebut.
Baca posting itu bikin saya tergoda untuk update blog saya sendiri yang, syaolo, gak kesentuh nyaris setaun *menunduk malu*
Sampai-sampai ada yang ninggalin komen baru di-publish sekarang (maaf yaa mbak Rika) *menunduk makin dalam*

Jadi..saya suka liat gambar yang diposting di blog mbak Ira tadi. Ini nih gambarnya:

Saya dan sahabat-sahabat saya punya pikiran yang sama soal ini. Hanya saja, lingkungan mereka lebih...apa ya sebutannya? Lingkungan mereka memaklumi dan bahkan banyak yang mengamini ide tadi.

Saya 'kebetulan' berada di lingkungan yang cenderung melihat pikiran ini kurang pantas dianut kaum wanita. Sebutan matre sudah lama melekat pada saya; bercanda atau tidak kurang saya pedulikan sih.

Seperti tulisan di gambar atas dan juga posting mbak Ira, saya amat setuju tentang hal ini dari jaman saya kecil. Bukan berarti saya mencari lelaki kaya...semua lelaki pilihan saya di masa lalu tidak ada yang kaya raya. Tapiii...mereka berotak cerdas dan tangguh di padang yang bernama kehidupan ini (tjieee). Hal ini semakin kukuh saya jadikan pegangan ketika saya menyaksikan mama saya terkena kanker dan berjuang selama 2 tahun untuk sembuh. Mengapa? Hidup ini tidak bisa disangka loh ujiannya. Jadi, di medan laga ini kiranya kita cerdas memilih partner hidup. Jika memang tidak atau belum bertemu, jangan paksakan diri. Kesalahan memilih pasangan katanya neraka pribadi yang abadi, hehehe

Sekarang ya, coba kita andaikan calon pasangan hidup ini adalah partner kerja di kantor misalnya. Kalau partner kerja kita tidak bisa diandalkan, santai dan tidak bertanggung jawab, pekerjaannya tidak kunjung selesai dan kualitasnya tidak memenuhi standar yang diminta. Nah..karena pekerjaan harus selesai apapun alasannya, kita lah yang turun tangan mengerjakan bagian dia juga. Tidak bisa tidak. Oleh karena pekerjaan 2 orang dikerjakan 1 orang saja, kualitasnya biasanya menurun. Iya kan?

Lalu satu hal lagi yang jadi pertimbangan saya: bayangkan jika sudah memiliki anak. Saya inginnnn sekali anak saya memiliki dan menikmati hal-hal yang tidak bisa saya peroleh sekarang. Hal-hal yang bahkan dulu saya tidak tahu ada. Kalau hanya diperjuangkan sendiri pastilah berat.

Pernah mendengar bahwa menarik orang ke atas lebih sulit daripada menarik orang untuk turun? Nah...beberapa sepupu saya menikahi pasangan yang berbeda pola pikir soal materi. Sepupu-sepupu saya berpikir, jika bisa lebih, kenapa harus berhenti? Sedangkan pasangan mereka berpikir, apa yang dimiliki sekarang sudah cukup, untuk apa susah payah? Akhirnya beberapa dari mereka, setelah lelah menarik-narik pasangannya untuk berjuang lebih lagi demi meningkatkan taraf hidup, menyerah. Ada yang memutuskan berpisah. Ada yang memutuskan untuk berjuang sendiri dan pasangannya tetap dengan sikap santainya (tapi ikut menikmati keberhasilan sepupu saya, ahaha). Ada yang memilih mengikuti standar pasangannya.

Memang tidak salah hidup sederhana. Namun saya merasa, jika punya kemampuan dan tenaga, kenapa tidak berusaha?
Namun di sisi lain, saya juga memaklumi, ada yang melihat hal-hal selain materi adalah lebih berharga.
Tidak apa-apa juga sih. Manusia kan punya pengalaman hidup yang berbeda-beda.
Saya, karena belum pernah merasakan jadi orang tajir melintir, ingin merasakan jadi orang berlebih. Oleh karena itu, saya memilih pasangan yang ber-ide sama dan mau berusaha maksimal demi mencapainya.

Nanti jika sudah kaya raya, mungkin juga saya berubah pikiran dan benci harta terus jadi bertapa.
Siapa tahu kan? *nyengir lebar*

No comments:

Post a Comment